Selasa, 06 November 2018

SOLUSI NGAK DI DENGAR YA KITA KERJAKAN SENDIRI SAJA

Pasti ada yang ingat sahabat yang mengikuti tulisan saya di tahun 2014 ketika saya mengusulkan cara mengentaskan macet di Jakarta. Dengan  cara pasti ber beda dengan cara membangun  MRT pilihan sekarang yang mahal atau apalagi membangunnya dengan pinjaman.

Namun kita semua tahu  “pembangunan fisik  inftrastruktur” itu jauh lebih gampang “jual”nya (ke public) walaupun impactnya (baca: jeroannya) bisa membahayakan banyak orang termasuk Negara (baca: national Threat).

Habis bagaimana ya,  banyak pejabat yang karbitan seperti hal nya politikus  karbitan yang hanya ingin “sharing power” dan “sharing fulus”. Untuk masalah politik dan pejabat model begini yang pengen kuasa ya faham kita, faham banget. Di Indonesia saat ini untuk negarawan atau politikus idealis akan kalah dengan system berjamaah “bagi-bagi” kekuasaan.

Jadi pejabat yang ingin menjabat selalu bermain dengan “image” karena sejak 2002 negara ini berubah menjadi Negara “popular vote” yang mendapatkan citra yang bisa di terima masyarakatlah  yang akan punya kekuasaan. Jadi harus sering “jualan” pejabat tersebut. Kalau ngak bisa jualan fisik ya jualan data, gitu pokoknya deh.

Kita bukan pejabat atau politikus namun tetap kontribusi memberi saran. Termasuk masalah kemacetan Jakarta.

Mungkin karena cara saya berbisnis selama ini selalu focus kepada “low hanging fruit” makanya cara saya berfikir adalah, pekerjaan semudah-mudahnya, modal sekecil kecilnya, team kecil, waktunya cepat dan untungnya besar (impactfull).

Jadi membangun infrastruktur Jakarta yang ratusan triliun bukan opsi utama saya.

Kalau bisa modal setengahnya, ya saya pilih itu. Waktu bangun infrastruktur jalanan bisa 5 tahun di tambah  waktu operasional 5 tahun alias 10 tahun lagi impact pengaruhnya, itu lama.  Kalau bisa 5 tahun sudah ber impact ya kita akan pilih yang lebih cepat.

Jadi apa usulan saya  ketika itu? Sekedar mengingatkan, usulan ini tidak di kerjakan jokowi, tidak di kerjakan ahok juga tidak di kerjakan anies hingga saat ini. Anies malah 1 tahun menjabat belum terlihat gregetnya.

Melihat “pain point” macet itu begini (versi saya loh ya jangan di bilang salah benar). Kendaraan keluar masuk Jakarta pagi hari mengantar 5 juta manusia yang sore malam hari kontraksi lagi 5 juta manusia ke luar kota Jakarta yang terbagi 5 wilayah ini. Bayangkan betapa rumitnya jalannya manusia bisa saling menyilang. Ada yang rumah bekasi kerja di bandara, ada yang tinggal di cengkareng kerja di cawang.

Misalnya ada yang rumah di bintaro kerja di kota, ada yang tinggal di klapa gading kerja di slipi. Itu perpotongan buanyak sekali. Dan itulah masalah distribusi manusia di Jakarta.

Bagaimana solusinya?. Di kepala saya waktu itu meniru apa yang Taiwan dan Singapura lakukan. Taiwan, singapura dua Negara kecil ini pintar sekali mengelola “design kota”.

Yaitu membuat ‘WALKABLE CITY”. Kota yang ramah pejalan kaki . Inilah otak saya 4 tahun lalu. Caranya bagaimana?

Buat kendaraan tidak dipakai. Maksudnya?

Saya urai perlahan. Tanah di Jakarta tengah kota milik instansi Negara  seperti BUMN, tentara, kepolisian itu luasnya ratusan  hektar banyak yang nganggur atau tidak maksimum kegunaannya. Katakan tanah auri saja, 25 ha di triloka pancoran pasar  minggu, lakespra cawang 6 ha, halim pondok gede 200 ha sekitar tol halim.

Belum angkatan darat, sepanjang  MT haryono, gatot subroto hingga  tomang, ada hampir  50 ha. Angkatan laut di sekitar kelapa gading, pertamina di kuningan, thamrin dan banyak lagi lahan kosong atau tidak maksimum “use of land”nya di pinjam 60 tahun.

60 tahun itu usia gedung yang akan kita bangun. Bangunan gedung 40 lantai di tengah kota lahan tampa modal RUPIAH. 60 tahun lagi balik ke instansi terebut 100%. Gedung itupun sudah di demolisi, di rubuhkan karena sudah tidak layak huni.

Karena tanah nilainya nol, hanya bagi kavling untuk instansi katakan 10% isi bangunan untuk isntasi terkait. Maka nilanya bisa murah. Faktor termahal property adalah lahan. Kalao NOL? Ya murah jadinya. Bangunan di strata title HGB 50 tahun.  Karena hanya bangunan tok maka harga banguna murah 5 juta/meter bediri tuh bangunan. Kalau 100M2 nilanya 500 juta  di tengah kota, di bawahnya pasar, rumah sakit dan sekolahan dari pre  school sampai SMA, maka itu WALKABLE CITY.

Distribusi manusia kontraksi menjadi berkurang 50% dalam 5 tahun dan kendaraan tidak banyak. Setelah pembangunan fisik perumahan di bangun baru di bangun infrastruktur jalanan MASS transpot ,  ambil yang penting penting keliling kota Jakarta. Total biaya1/2 aja tetapi impactnya cepat.

Bangun tower  2 tahun jadi untuk  500.000 unit rumah. Untuk 2  juta an manusia. Membangun 500 tower ini bisa 100% produk Indonesia, SDM Indonesia, Uang Indonesia.ini bukan angka besar ada 4000 triliun di 10 bank nasional Indonesia, ini hanya perlu 250 triliun saja kok.

Ngak perlu membuat kaya Negara lain. kalau memang perduli ya buat kaya bangsanya dan negaranya sendiri aja. Pakai cara kita ini aja. Kekuatan sendiri.

Eiit sebentar,   Masih menganggap kebesaran dananya? Waktu itu saya paparkan cara yang hanya 20% dari budget ini dan bisa selesai semua dalam 5 tahun. Mau tahu?..  jumpa darat kita yuk #SKBC2018 #peace